Dikisahkan pada zaman dahulu terdapat suatu Kerajaan Singapura Martapa, Kerajaan tersebut sangatlah maju dengan perkembangan ekonomi yang sangat pesat hal itu dikarenakan letak Kerajaan yang berdekatan dengan lokasi strategis jalur satu-satunya perdagangan di laut utara Nusantara.
Kerajaan Singapura Martapa memiliki sebuah pelabuhan yang setiap harinya ratusan perahu bersandar dan berlalu di pelabuhan Angke atau pendatang menyebutnya dengan Angle Java. Dari situlah mengapa Kerajaan Singapura Martapa menjadi Kerajaan yang maju dan memiliki banyak relasi bukan hanya dari Kerajaan di Nusantara akan tetapi pada Kerajaan di seberang seperti dataran China dan tanah Padang Pasir.
Raja yang memerintahkan Kerajaan Singapura Mertapa bernama Prabu Baratanagari memiliki 2 permainsuri bernama Soliyaya dan Anindias Ningrum, dari Soliyaya tidak memiliki seorang keturunan akan tetapi dari Anindias memiliki 2 Anak yang Laki-laki bernama Raden Alispilanagari dan Dewi Solimawarda.
Kedua keturunan Raja Baratanagari tinggal di dalam istana, hidup seperti apa yang seharusnya sebagai seorang anak Raja, namun kakak Dewi Solimawarda memiliki kebiasaan yang kurang baik sebagai anak Raja, Raden Alispilanagari agak sedikit bandel dan susah dinasihati.
Suatu waktu saat Raja bersama keluarganya sedang berjamu makan malam, Raden Alispilanagari tidak ikut makan malam, hingga Ibundanya mencari Raden Alispilanagari ternyata ia didapati sedang berada di dalam Kamar.
Ibunda Raden Alispilanagari menasihati putranya, "Astaga, Anakku... Sedang apakah kamu disini, kenapa kamu tidak makan bersama ayahmu?" Tanya Anindias Ningrum.
"Maaf Ibunda Aku baru saja makan jadi Aku sudah makan malam disini."
"Jadi kamu makan ditempat tidur!"
"Iya benar Ibunda"
"Ternyata kebiasaanmu itu terus berulang, Ibunda mohon mulai besok jangan makan ditempat tidur lagi, Ibu tidak ingin memerahimu Anakku. Ibunda harap kamu bisa merubah kebiasaanmu yang tidak baik ini."
Anindias Ningrum pergi kembali menuju ruag makan istana, keluarga Kerajaan Singapura Martapa itu makan tanpa kehadiran putra mahkota satu-satunya.
Hingga pada suatu ketika kejadian yang sama terulang kembali, Raden Alispilanagari melakukan kebiasaan yang kurang baik, ia lagi-lagi makan di atas tempat tidur, Ibundanya kali ini kehilangan kontrol diri Ibunda Raden Alispilanagari marah pada putranya.
"Wahai Anakku Ibunda malu, kamu itu anak seorang Raja seharusnya kamu berkelakuan baik, kamu juga salah satu putra Mahkota. Ibunda tidak pernah mengajari kebiasaan buruk tersebut, kebiasaan makan sambil berbaring di atas tempat tidur, makan sambil berbaring itu kurang baik seperti seekor Buaya."
Tiba-tiba Raden Alispilanagari merundukan wajahnya merasa malu, kemudian ia berubah menjadi seekor Buaya Putih, Ibundanya yang menyaksikan kejadian tersebut langsung menyesali ucapanya yang kehilangan kontrol tadi, Ratu Anindias Ningrum memeluk putranya dan menangis.
"Maafkan Ibunda Anakku, Maafkan Ibunda. Ibunda tidak bermaksud membuatmu seperti ini, Ibunda menyesali ucapan Ibunda" Ratu Anindias Ningrum hanya bisa menangis melihat anaknya yang sudah menjadi seekor Buaya.
Raden Alispilanagari hanya bisa meneteskan air mata ia harus menerima bentuk tubuhnya yang sekarang, tiada kata yang bisa ia ucapkan hanyalah berbalut air mata.
Mendengar tangisan Ratu Anindias Ningrum sang Raja bersama putrinya Dewi Solimawarda menghampiri kamar Raden Alispilanagari, Awalnya Raja Baratanagari kaget ketakutan karena ada seekor Buaya di dalam kamar putranya. Istrinya Ratu Anindias Ningrum mencoba menjelaskan sambil menangis sesenggukan.
"Mohon maaf Kakanda Raja, Buaya ini adalah putra Kakanda yaitu Raden Alispilanagari, dia berubah menjadi seekor Buaya karena mungkin kebiasaannya yang kurang baik itu, sehingga Aku kehilangan kendali dan mengucapkan sesuatu yang tidak seharusnya Aku ucapkan."
Sang Raja Baratanagari bersama putrinya yang mendengar cerita tersebut akhirnya ikutan menangis mereka tidak pernah menyangka bahwa Putranya sekarang berubah menjadi seekor Buaya, hingga akhirnya Raden Alispilanagari, dirubah namanya oleh Ayahandanya.
"Anakku, Alispilanagari kamu sejatinya harus menerima takdir yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa pada dirimu, mungkin ini merupakan sebuah ujian bagimu Anakku. Tapi Ayahanda akan tetapi menganggapmu sebagai anak Ayah. Mulai sekarang dengan bentuk tubuhmu yang sekarang putraku kamu akan Ayahanda ganti namamu menjadi Cuplis dan kamu mulai sekarang harus rela tinggal disuatu tempat yang baru dengan keadaanmu yang sekarang Ayahanda perintahkan kamu untuk menjadi penjaga Pelabuhan Angel Java serta kamu harus menjaga sungai Angke, melindungi warga Kerajaan Singapura Martapa yang membutuhkan pertolongan dan kamu juga harus menjaga sungai Angke jika ada sesuatu yang berbahaya mengancam Kerajaan Singapura Martapa."
Maka sang Raja menutupi tubuh Buaya Cuplis dengan sebuah kain berwarna merah, Raja membawa Buaya Cuplis itu Pergi menuju sungai Angke, Raja Baratanagari berserta Istri dan putrinya melepaskan Putranya Raden Alispilanagari yang sekarang bernama Buaya Cuplis.
"Putraku, Ayahanda harus merelakanmu. Ayahanda sangat menyayangimu, tapi ini mungkin takdir yang harus kamu jalani. Ayahanda akan memberikan sebuah kain merah ini dan akan ayah jadikan sebagai kalung penanda."
Raja Baratanagari memakaikan kain merah tersebut dileher Buaya Cuplis, air mata Buaya Cuplis kembali menetes, maka Buaya Cuplis itupun beranjak pergi menghampiri air sungai Angke. Dan Jadilah ia menjadi Buaya Cuplis penghuni Pelabuhan Angel Java.
SEKIAN...
(B_Yk)
c.30.09.2020.rb
0 Response to "Legenda Buaya Cuplis"
Post a Comment